TIMES JAMBI, JAMBI – Dulu, menulis skripsi adalah proses panjang dan melelahkan. Mahasiswa tingkat akhir harus bergulat dengan tumpukan buku, berpindah dari satu rak ke rak lain di perpustakaan, atau berlama-lama berselancar di dunia maya mencari referensi yang sesuai. Ada rasa frustasi, tapi juga ada kebanggaan tersendiri ketika akhirnya bisa menyusun kalimat demi kalimat hasil pemikiran sendiri.
Namun sekarang, semua terasa berubah. Cukup ketik satu pertanyaan di ChatGPT, dan dalam hitungan detik, paragraf-paragraf rapi siap dikutip, disunting, bahkan ditinggal tidur. Pekerjaan yang dulu butuh hari atau minggu, kini bisa selesai dalam satu malam. Begitu cepat, begitu mudah.
Cerita yang sama terjadi di dunia jurnalistik. Seorang wartawan yang dulu harus mendengarkan ulang rekaman wawancara dengan penuh konsentrasi, kini hanya perlu memasukkan sepenggal kutipan ke dalam sistem AI. Lalu seperti sulap naskah berita langsung tersaji, seolah ditulis tangan-tangan tak terlihat.
Di bidang teknologi, kehadiran AI bahkan lebih mencengangkan. Seorang programer bisa membuat potongan kode hanya dengan perintah singkat dalam bahasa manusia. Tugas-tugas rumit yang biasanya memakan waktu dan riset mendalam, kini dijawab oleh mesin dengan kecepatan luar biasa.
Kita sedang hidup di masa di mana batas antara pikiran manusia dan kecerdasan buatan mulai kabur. Dan seperti yang pernah ditulis oleh Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, ini bukan sekadar perkembangan teknologi tapi revolusi. Sebuah pergeseran besar dalam cara kita bekerja, berpikir, bahkan memahami makna hidup kita sendiri.
Harari memperingatkan tentang munculnya kelas tak berguna kelompok manusia yang kehilangan relevansi karena fungsi-fungsi mereka digantikan oleh algoritma. Apakah itu terdengar ekstrem? Mungkin. Tapi lihatlah sekeliling. Siapa yang lebih dihargai hari ini: manusia yang bekerja lambat namun penuh pertimbangan, atau sistem yang cepat dan tak kenal lelah?
Kemajuan AI memang mengagumkan. Ia mampu membaca data dalam skala yang tak terbayangkan, membuat keputusan lebih cepat dari pikiran manusia, dan memberi efisiensi luar biasa dalam berbagai bidang. Tapi di balik semua itu, muncul pertanyaan mendasar: jika mesin bisa berpikir dan memutuskan lebih baik dari kita, lalu apa gunanya manusia?
Masa depan belum tentu suram, tetapi juga bukan tanpa risiko. Tanpa aturan yang jelas dan kesadaran etis yang kuat, AI bisa menjadi alat kekuasaan bagi segelintir elit, memperlebar jurang antara mereka yang menguasai teknologi dan mereka yang tertinggal. Dunia bisa terbelah bukan lagi atas dasar kelas ekonomi lama, tetapi berdasarkan siapa yang memiliki kendali atas data dan algoritma.
Di tengah arus perubahan ini, mungkin kita perlu mengingat kembali nilai dari sebuah proses. Betapa berharganya waktu yang kita habiskan untuk berpikir sendiri, berdiskusi, mencari solusi, dan belajar dari kesalahan. Mesin mungkin bisa memberi jawaban cepat, tapi hanya manusia yang bisa merasakan makna dari jawaban itu.
Kita tidak bisa lagi hanya menjadi pengguna pasif teknologi. Kita harus memimpin, mengarahkan, dan memastikan bahwa AI benar-benar digunakan untuk memperluas potensi manusia bukan untuk menggantikannya.
Karena seperti yang Harari katakan, tantangan terbesar umat manusia bukanlah menciptakan mesin yang cerdas, melainkan menjaga agar kecerdasan itu tetap berada dalam bingkai kemanusiaan. (*)
***
*) Oleh : Juan Ambarita, Wartawan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |